Kamis, 01 Desember 2011

CURHAT SEORANG PEREMPUAN



Sudah lima tahun tidak bertemu dengannya, dan hanya satu, dua, tiga kali saja kita saling berkirim kabar melalui handphone. Dia, seorang perempuan berdarah jawa, supel dan ceria, tidak cantik namun sangat menarik. Dan betapa beruntungnya dia menikah dengan lelaki yang ia cintai, lelaki yang tahu agama, tampan dan punya jabatan. Lengkap kebahagian mereka, dengan diberi amanat keturunan seorang anak laki-laki. Wuahh…, semoga  kebahagian selalu menyertainya

Tiga hari yang lalu, aku melihatnya online dengan antusisanya aku pun menyapa. Hallooo… pa kabar dil??? Sapa ku di chat room, tumben lu online kemana aja lu??? Baru kali ini lihat lu online, Jakarta membuat lu so bussy ya?? Waktu lu jadi semacet jalan dan sesumpek isi kotanya?? Trus gimana dengan pekerjaan baru lu disana??? Begitu rentetan pertanyaan ku padanya, yang hanya dijawab dengan, Nana tolong aku. Tiba-tiba pertanyaan yang akan kulontarkan lagi jadi terhenti, jika ada kata “tolong” berarti ada sesuatu yang tidak beres pada Dila teman ku. Tolong kenapa say?? Lalu dia katakan, suami ku selingkuh dan dia mau menikahi perempuan itu.

Lima menit kita sama-sama terdiam,.  Aku sangat mencintai suamiku aku tidak mau bercerai dan aku juga sayang dan kasihan dengan anakku Na, anakku masih kecil baru dua tahun. Sementara aku nggak mau egois na, dia perempuan yang sudah ditiduri suami ku dan aku paham dengan apa yang dia rasakan karena aku juga perempuan. Huuffff…, Aku pun menghela nafas panjang. Dia pun melanjutkan, perempuan itu adalah teman satu kantornya, mereka sudah satu tahun menjalin hubungan layaknya suami sitri, dan bodohnya aku tidak mengetahui hubungan mereka selama ini, karena beberapa bulan yang lalu aku pulang ke Kediri untuk menjalani pengobatanku. Saat ini suami ku jarang pulang dia lebih senang menghabiskan waktunya dengan perempuan itu, dan aku tidak lagi dinafkahi lahir dan bathin, biaya anak juga tidak terpenuhi seperti dulu lagi.
Lalu apa keputusanmu??? Aku bingung, aku tidak mau dicerai dan tidak mau dimadu. Apa kamu sudah membicarakan baik-baik dengan suamimu??? Sudah, aku tidak marah yang aku lakukan hanya menangis, dia menjawab dengan sejujurnya, kalau dia sangat mencintai perempuan itu, tidak bisa meninggalkannya dan akan menikahinya. Anak kita lebih baik di asuh oleh perempuan itu dan kamu carilah kontrakan yang baru agar tetangga tidak menanyakan tentang aku yang jarang pulang. Apa suamimu tidak mencintai mu lagi??? Suamiku masih mencintaiku dan masih sayang denganku dan anakku. Lahh,,,, kenapa dia meniggalkamu demi perempuan lain??? Mengorbankan perasaan mu dan anakmu!!! Karena dia telah menodai perempuan itu, karena dia tidak bisa hidup tampa perempuan itu dan perempuan itu lebih cantik dari ku lebih muda la lagi. Suamiku bilang jika kelak dia tidak bahagia dengan perempuan itu, aku akan kembali padamu… Oh damn so selfish man, bisik ku dalam hati.

Hmmmmm… Dil ini emang sulit, tapi kamu hanya punya dua pilihan. Pertama hidup dimadu dan kedua memilih perceraian ketika kamu sudah membuat keputusan akan lebih baik kamu tahu konsekuensinya dan jangan ada kata penyesalan karena apapun jadinya nanti ini adalah yang terbaik buat mu. Hidup dipoligami tidaklah gampang, kamu harus siap lahir dan bathin, karena manusia tidak bisa berbuat adil. Suamimu tahu agama kuliah di perguruan tingggi agama tapi justru tidak melaksanakannya dengan benar. Kamu istri sahnya tapi masih lapar mata dengan wanita lain, kamu tidak dinafkahi lahir bathin dan dia lupa akan tanggungjawab sebagai suami dan tanggungjawab sebagai ayah dari anakmu. Gimana jadinya klo kamu dipoligami justru akan membuat dia semakin ngelunjak dan batin mu akan lebih tersiksa dan tertekan. Dampak ibu tertekan juga berdampak terhadap perkembangan psikologis anak mu Dil, dia akan lebih tertekan lagi karena bagaimanapun perasaan seorang anak lebih dekat dengan ibunya kecuali kamu siap untuk dipoligami siap lahir dan bathin. Jika kamu memilih hidup berpisah kamu harus siap dengan menjadi single mother, lebih giat berusaha demi hidupmu dan anakmu, namun kamu bebas Dil, bebas dari tekanan fikiran, bebas dari beban perasaan kamu hanya fokus dengan anakmu, menata hidup untuk lebih baik dengan kepribadian yang kuat, kuat bagi dirimu dan kuat bagi anakmu. Semua harus jelas Dil, tidak ada kata pasrah tampa kepastian,  jika ada awal pasti ada akhir, hitam di atas putih tidak selalu berunjung hukum jika kita tidak konsisten. Sekarang tinggal kamu yang menentukan ini bukan menerima takdir, tapi ini adalah hidup dimana kita membutuhkan sebuah keberanian untuk memilih dan membuat keputusan dan yakinlah ini adalah skenario Indah hidup dari-Nya. Tinggal menunggu waktu yang tepat, hingga disaat waktunya datang kamu akan tahu inilah KEBAHAGIAAN itu.

4 komentar:

satudinia.blogspot.com mengatakan...

Ini barangkali cerita klise yg sdh sering terjadi...herannya kisah sedih perselingkuhan, pengkhianatan selalu berulang. Perempuan selalu di pihak korban, & merekalah yg dituntut untuk mengambil langkah, membuat pilihan, mengambil keputusan,lalu berjuang sendiri... Bagi saya, lelaki yang berani mengkhianati istrinya sama saja dia mengkhianati ibunya sendiri. Karena ibunya juga perempuan, dan dia lupa bahwa istrinya juga ibu dari anak-anaknya. Saya tidak percaya jika laki-laki berselingkuh masih berani mengaku cinta pada istrinya. Itu bohong besar.Orang yang mencintai tak akan tega menyakiti orang yang dicintainya. Mencintai itu memberi, mencintai itu berkorban, melindungi, mengasihi.. Keputusan yang harus diambil dari kisah ini, seharusnya sudah sangat jelas!

Ning Diar mengatakan...

Sep ^_^

Anonim mengatakan...

Setelah membaca cerita di atas, saya justru mempunyai beberapa statement yang mungkin perlu dipertimbangkan:
1. memang benar kasus di atas adalah kasus klasik, namun dalam kenyataannya, kasus tersebut akan tetap terus berulang jika prilaku sosial, baik laki-laki maupun perempuan masih seperti dewasa ini. Salah satu contohnya: laki-laki masih tetap berfikir bahwa terdapat justifikasi jika laki-laki tertarik pada perempuan lain, meskipun sudah punya pasangan. Sedangkan di pihak perempuan juga memiliki justifikasi bahwa mereka berhak untuk berpenampilan menarik di depan publik. Justifikasi tersebut umumnya dipegang kuat oleh keduanya tanpa memandang apakah ketertarikan ataupun penampilan tersebut berpeluang terjadinya kasus-kasus semacam ini.
2. Jika kasus di atas terjadi, umumnya jalan keluar yang diambil hanya memiliki dua pilihan: Pasrah atau cerai. Jarang sekali memberikan jalan yang ketiga yaitu penyadaran masing-masing pihak sehingga justru mampu mempererat hubungan suami istri tanpa harus terjadi poligami ataupun justru terulangnya perselingkuhan. Anehnya, ketika para wanita (saya menyebutkan para karena beberapa wanita yang saya temui juga pernah memiliki paham yang serupa) justru mengamini kedua jalan keluar di atas. Lebih parah lagi, lembaga-lembaga pendampingan wanita, umumnya juga berpandangan sama, bahkan menurut saya sendiri (mohon maaf jika yang terakhir ini salah, tolong dibenarkan) yang terakhir ini justru berpotensi memunculkan single parent.

Maka sebagai jalan keluarnya, ada beberapa jalan yang bisa ditempuh jika terjadi hal di atas:
1. Perlu adanya kesadaran dari pihak laki-laki dan perempuan bahwa justifikasi di atas tersebut tidak selamanya benar.Memang laki-laki berhak untuk tertarik, tapi ketertarikan tersebut bukan kemudian menjadi pembenaran untuk mempelototi perempuan sebagai objek, namun, ketertarikan yang justru seharusnya akan membuat lelaki akan semakin cinta kepada sang istri, kepada sang pacar, kepada sang ibu, kepada saudara-saudara perempuannya. Begitu juga perempuan, memang mereka berhak untuk berpenampilan menarik, tetapi bukan berarti kemudian berjuang mati-matian untuk menonjolkan kemenarikan mereka di depan umum, berpenampilan menarik justru diharuskan jika berada di depan suami. Mohon dihindari penampilan menarik yang justru akan menimbulkan kejadian-kejadian serupa.
2. Perlu adanya pendekatan prikologis dan sosial budaya, baik laki-laki maupun perempuan mengenai masalah ketertarikan kepada lawan jenis dan penampilan menarik tersebut.
3. Jika terjadi hal yang serupa, sebaiknya jangan hanya satu pihak saja yang mendatangi lembaga pendampingan. Alangkah lebih baik jika kedua belah pihak secara bersama berdampingan mendatangi lembaga tersebut untuk kemudian berkonsultasi untuk mendapatkan jalan terbaik. Umumnya, lembaga-lembaga serupa hanya didatangi oleh salah satu pihak saja. Hal inilah, lagi-lagi menurut saya justru akan menimbulkan kasus serupa di kemudian hari.

Itulah pendapat saya, kalau ada yang ingin menyanggah atau berkomentar lain, monggo, kita berkomentar untuk mendapatkan jalan terbaik.

Ning Diar mengatakan...

Setuju bro, namun yang jelas CINTA disini adalah cinta karena dan sebab.. karena dan sebab biasanya lebih kepda fisik, harta dll. Tidak ada jaminan untuk selalu hidup berdampingan.

Posting Komentar