Senin, 24 Januari 2011

PROFESIONALISME DAN PERAN PUSTAKAWAN DALAM MENCAPAI KEPUASAN PENGGUNA


Pendahuluan
            Perpustakaan yang selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan masyarakat informasi erat hubungannya dengan SDM atau orang yang bekerja mengelola perpustakaan (pustakawan), bagi masyarakat awam profesi pustakawan merupakan pekerjaan most unpopular job (pekerjaan paling tidak menyenangkan) tapi siapa yang tahu bahwa pekerjaan seorang pustakawan sangatlah complet, bergengsi dan intelek karena pekerjaannya bersentuhan dengan ilmu pengetahuan dan memerlukan keahlian khusus. Dikatakan pustakawan sebagai profesi dapat kita lihat dalam pengertian profesi dan pustakawan itu sendiri. Profesi merupakan suatu bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian, ketrampilan, kejujuran, dan sebagainya (Wiji Suwarno, Ilmu Perpustakaan dan Kode Etik Pustakawan, 2010: 100) dan salah satu pengertian dari pustakawan adalah seseorang yang melaksanakan kegiatan perpustakaan dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas lembaga induknya berdasarkan ilmu perpustakaan, dokumentasi, dan informasi yang dimilikinya melalui pandidikan (Lasa Hs. Kamus Kepustakawanan Indonesia, 2009: 295). Dalam pengertian ini jelas dikatakan bahwa (1). Profesi pustakawan memerlukan keahlian dikarenakan kegiatan perpustakaan yang terdiri dari proses collecting, proccesing, dessiminating, preservation and conservation. (2) Yang dikatakan pustakawan adalah orang yang telah menempuh pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi. 

Profesionalisme Pustakawan Saat Ini?
Dari uraian di atas ada tiga kunci yang terdapat pada kata profesi dan profesional, pertama merupakan sebuah pekerjaan yang dapat memberikan nafkah, kedua ada latar belakang pendidikannya dan ketiga ada keahlian serta ketrampilan yang diperoleh dari pendidikannya tersebut. Jika demikian bagaimana dengan kondisi profesionalisme pustakawan saat ini? Apakah pustakawan sudah melaksanakan tugasnya dengan profesional? Fakta di lapangan menunjukan bahwa masih ada pustakawan yang belum profesioanal dalam pekerjaannya, berikut ini merupakan faktor pemicu ketidak profesinalismean pustakawan dalam pekerjaan diantaranya adalah:
1.    Latar belakang pendidikan pustakawan.
Latar belakang pendidikan pustakawan yang non-perpustakaan sedikit banyak dapat menghambat lancarnya kegiatan kerja sehingga profesionalisme pustakawan sebagai tenaga fungsional diragukan. Pernyataan pustakawan merupakan tenaga profesional yang menuntut keahlian khusus, sesuai dengan pernyataan Lasa HS yang mengatakan bahwa pendidikan profesionl diarahkan terutama untuk pengusaan keahlian tertentu. Dengan tujuan pengembangan profesi pustawakan itu sendiri sehingga pustakawan mampu menduduki dan melaksanakan jabatan fungsional dengan baik. Sehingga sedikit banyak dapat mengganggu kelancaran kegiatan di perpustakaan. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan beberapa upaya berupa, training dan pelatihan secara continue sehingga pustakawan terlatih secara profesional.
2.    Ketidakmampuan pustakawan dalam berkomunikasi dengan baik.
Penyebab ketidakmampuan pustakawan dalam berkomunikasi diantaranya pustakawan tidak percaya diri atau tidak yakin dengan kemampuannya, pustakawan tidak menguasai bahasa dan yang lainnya. Komunikasi merupakan salah satu soft competency pustakawan, Sri Rohyanti Zulaikha mengatakan bahwa salah satu soft competency diantaranya adalah kemampuan komunikasi dan bagaimana berkomunikasi yang efektif karena pustakawan adalah  mitra intelektual yang memberikan jasa kepada pemakai. Jadi seorang pustakawan harus ahli dalam berkomunikasi baik lisan maupun tulisan. Sependapat dengan Lasa mengatakan bahwa seorang pustakawan yang profesional adalah seorang manajer informasi yang menerapkan prinsip-prinsip manajemen dalam pengelolaan perpustakaan terutama pada era informasi ini dimana  dituntut mampu dalam berkomunikasi ke segenap lapisan masyarakat.merupakan manejerial ilmu untuk itu pustakawan dituntut mampu berkomunikasi ilmiah secara lisan maupun tertulis. Dapat dismpulkan bahwa komunikasi yang baik merupakan modal utama untuk mendukung kelancaran interaksi yang baik pula antara pustakawan dan pustakawan dengan pemustaka sehingga pekerjaan sebagai penyedia jasa informasi dan penerima jasa informasi berjalan lancar. Selain itu dapat dilakukan kegiatan pelatihan dan lomba menulis artikel, pidato, story telling dengan tujuan pustakawan terlatih dan termotivasi untuk menulis sehingga masalah komunikasi dapat diatasi. 
3.    Belum adanya kesiapan pustakawan sebagai penyedia jasa informasi dalam arti pustakawan masih menganggap dirinya hanya duduk diam menjaga koleksi. Ini disebabkan kurangnya rasa ingin tahu dan rasa empati terhadap pekerjaan dan pengguna untuk itu perlu diadakannya suatu pelatihan yang mengasah emotional intelligence pusatakawan. Pelatihan ini bertujuan untuk memahami perasaan masing-masing dan orang lain sekaligus dapat memotivasi diri untuk lebih peka terhadap lingkungannya. Sri Rohyanti Zulaikha mengatakan bahwa ketrampilan profesi pustakawan saat ini bukanlah penjaga koleksi tapi penyedia informasi, dengan media informasi yang semakin beragam.
4.    Pustakawan pasif atau kurang aktif dalam perkembangan dunia informasi dan kemajuan teknologi informasi. Hal ini dapat menyebabkan perpustakaan akan ketinggalan dalam pemanfaatan teknologi informasi, jika pustakawan tidak mampu mengikuti perubahan dengan bijak maka perpustakaan dengan sendirinya kurang diminati pengguna sekaligus tidak dapat menyokong tujuan lembaga induknya. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan pelatihan tentang bagaimana menggunakan perangkat teknologi informasi yang pada dasarnya pelatihan ini dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.
5.    Pekerjaan pustakawan yang tidak terarah dalam arti dalam penguasaaan ilmu perpustakaan yang serba general dan setengah-setengah (unspecialist librarian). Hal ini dapat menghambat kelancaran kerja sekaligus menghambat target yang telah disepakati. Dengan spesialisasi dibidang ilmu tertentu mampu memahami kebutuhan penggunanya, untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan penempatan yang jelas (job descrption) dengan memperhatikan keahlian masing-masing pustakawan selain itu dapat dilakukan pelatihan sesuai dengan keahlian tersebut.
6.    Pustakawan yang tidak asertif  terhadap pemustaka.
 Asertif merupakan sebuah sikap yang mampu memahami orang lain tampa menyinggung persaan orang tersebut. Jika pusatakawan mampu bertindak asertif maka dapat tercipta iklim yang kondusif dan bersahabat. Sebagai wujud sikap asertif pustakawan perlu memupuk rasa kasih sayang tanpa pamrih, mau menghargai orang lain apa adanya, mau mengakui nilai-niai individualitas seseorang, mempunyai komitment secara mutlak untuk menjaga hubungan, rasa penerimaan dan memberi kesempatan kepada orang lain, dan action untuk menjaga hubungan agar tetap harmonis (Kalarensi Naibaho)

 Pustakawan Sebagai Anggota Profesi?
Terdapat beberapa unsur mengapa pustakawan dikatakan sebagai anggota profesi diantaranya, ada lembaga pendidikan, memiliki organasiasi profesi, ada kode etik, majalah ilmiah dan tunjangan pustakawan. Implementasi pengakuan pustakawan sebagai anggota profesi dapat dilihat dalam Kode Etik Pustakawan Tahun 2006 dan Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Kode etik pustakawan Indonesia tahun 2006 pasal 7 menyatakan bahwa, pustakawan  sebagai anggota profesi membayar iuran keanggotaan secara disiplin, mengikuti kegiatan organisasi sesuai kemampuan dengan penuh tanggung jawab, mengutamakan kepentingan organisasi di atas kepentingan pripadi.
Organisasi profesi pustakawan yang disebut dengan IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia) mulai dari tingkat pusat, daerah propinsi dan kabupaten kota telah melakukan berbagai kegiatan diantaranya, (1). Mengadakan dan ikut serta dalam kegiatan ilmiah tentang perpustakaan, dokumentasi dan informasi baik dalam dan luar negeri. (2) Mengusahakan keikutsertaan pustakawan dalam pembangunan Nasional dibidang perpustakaan, dokumentasi  dan informasi. (3) Menerbitkan Pustaka dan atau mempublikasikan bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi. (4) Membina forum komunikasi antar pustakawan atau kelembagaan perpustakaan, dokumentasi dan informai ( Hilman Firmansyah. Peran Ikatan Pustakawan Indonesia Terhadap Kompetensi Pustakawan. 2010)
Sejauh ini peran pustakawan sebagai tenaga profesi hanya sebatas wacana   dalam arti belum optimal, program yang telah disepakati tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. IPI sebagai organisasi profesi seharusnya bertindak cepat dalam mengatasi berbagai peramasalahan dengan mengambil tindakan dalam wujud kegiatan-kegitan yang bersifat membangun baik itu bagi pustakawan, maupun organisasi profesi itu sendiri sekaligus lembaga dimana pustakawan itu bekerja.
Kemapanan IPI sebagai sebuah organisasi profesi belum optimal, sehingga belum bisa disejajarkan dengan organisasi profesi lain seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Akutan Indonesia (IAI) Persatuan Guru Indonesia (PGRI) dan yang lainnya. Padahal dengan adanya organisasi profesi pustakawan dapat melakukan banyak hal terutama sebagai sarana komunikasi antar pustakawan dalam menyalurkan ide, masukan, keluhan sehingga masalah yang muncul dapat diantisipasi sedini mungkin. Kegiatan lain dapat berupa pelatihan dan seminar bagi pustakawan baik itu pelatihan yang pada dasarnya untuk meningkatkan kompetensi pustakawan. Pelatihan social skill, assertive communication, kecerdasan emosional, quantum learning dan quantum teaching, pemanfaatan teknologi informasi, dan masih banyak yang lainnya. Seminar yang dapat dilakukan berupa kompetensi untuk profesi pustakawan, perkembangan dunia informasi, mengkaji kebutuhan pengguna informasi, dan lain-lain. Dapat disimpulkan bahwa antara pustakawan dan organisasi profesi merupakan satu mata rantai yang saling berhubungan jika pustakawan dan organisasi profesinya mampu berkompetensi maka organisasi profesi pustakawan dapat disejajarkan dengan profesi lainnya.
           
Peran Pustakawan Sebagai Mahkluk Sosial Di Perpustakaan 
Pustakawan juga manusia, yang artinya pustakawan sebagai mahkluk sosial mempunyai peranan penting terutama dalam melayani masyarakat pengguna jasa informasi. Peran dan tugas pustakawan tidak lepas dari tugas dan  fungsi lembaga induknya sebagai lembaga penyedia akses informasi seluas-luasnya kepada pengguna dengan cepat dan tepat.
Pustakawan sebagai mahkluk sosial dapat dilihat dari Interaksi antara pustakawan dan pengguna jasa informasi ini merupakan implementasi suatu pola hubungan sosial. Secanggih apapun automasi yang digunakan di perpustakaan hubungan personal tetap akan diperlukan contohnya, user education, bimbingan konseling, dan yang lainnya. Jadi hal utama yang menjadi pertimbangan untuk mencapai kepuasan pengguna (interaksi) diperlukan kompetensi pustakawan dalam berkomunikasi.
Adapun kompetensi-kompensi yang harus dimiliki pusatakawan dalam melakukan komunikasi adalah, Assertive communication, bahwa setiap aktivitas diperpustakaan memerlukan komunikasi yang baik antara pustakawn maupun pustakawan dengan pengguna jasa informasi. Menurut De Saez dalam Klarensia Naibaho Pustakawan asertif: Idaman masyarakat! (tinjauan terhadap tugas dan kompetensi pustakawan dalam mencapai  kepuasan pengguna) strategi komunikasi yang dapat dipergunakan di pusat informasi adalah strategi komunikasi AIDA (Awareness, Interest,Decition)
Awareness, bahwa pusat informasi harus mampu menarik perhatian pengguna untuk dapat mengetahui dan apa saja yang dapat ditawarkan oleh perpustakaan. Interest, apabila komunikasi telah dibangkitkan, dapat dilakukan upaya menumbuhkan ketertarikan, minat pengguna untuk mengakses informasi yang disediakan. Dari rasa ketertarikan tersebut perlu dilakukan kegiatan lanjutan demonstrasi berupa ajakan yang mengarah pada pengambilan keputusan dan untuk mengikuti kegiatan yang ditawarkan tersebut yang disebut dengan (action) atau tindakan. Pustakawan tidak hanya sebagai penyedia informasi tapi juga menjadikan informasi tersebut dapat bermanfaat bagi pemustaka dalam rangka mencapai masyarakat yang cerdas.
Kesimpulan
Pada dasarnya peran pustakawan sebagai anggota profesi sekaligus sebagai penyedia jasa informasi berdampak pada:
1.      Kepuasan pemustaka, dapat dicapai dengan memberikan layanan perpustakaan yang berkualitas.
2.      Kualitas layanan hanya dapat dijamin dengan tenaga pustakawan yang profesional dan mampu berkompetensi
3.      Organisasi profesi sebagai wadah untuk membangun dan mengembangkan kompetensi pustakawan 

 Daftar Pustaka

Firmansyah, Filman. 2010. “Peran Ikatan Pustakawan Indonesia Terhadap Kompetensi Pustakawan” diambil dari http://perpusunpas.wordpress.com/2009/03/28/peran-ikatan-pustakawan-indonesia-terhadap-kompetensi-pustakawan/ pada tanggal 13 Oktober 2010 Rabu Jam 05: 05
Forum Kajian Budaya dan Agama. Kecerdasan Emosi (emotional intelligence) dan Quantum Learning. 2001. Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama.
Lasa HS. 2009. Kamus Kepustakawanan Indonesia: Kamus lengkap istilah-istilah pustaka dan perpustakaan yang ditulis lengkap oleh pustakawan senior. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Lasa HS. 2010. “Pendidikan dan Profesi Pustakawan. Diambil dari http://kober.tripod.com/artikellasa-7.html. pada tanggal 3 November. Rabu 09:10
Mauglib. 2010. “Profesionalisme Pustakawan dan Tugas Pustakawan Profesional” diambil dari http://maunglib.wordpress.com/koleksi-artikel/profesionalisme-pustakawan-dan-tugas-pustakawan-profesional/. Pada Tanggal 6 Oktober. Rabu Jam 20: 23
Naibaho, Clara. 2010. “Pustakawan Asertif: Idaman Masyarakat (Tinjauan terhadap tugas pustakawan dalam mencapai kepuasan pengguna)diambil dari file://localhost/E:/peran%20dan%20profesionalitas//Pustakwan%20Asertif.mht. Pada Tanggal 6 Oktober. Rabu Jam 20: 30

Suwarno, Wiji. 2010. Ilmu perpustakaan dan Kode Etik Pustakawa. Yogyakarta: Arus Media.
Zulaikha, Sri Rohyanti. 2010. Materi Perkuliahan “ketrampilan sosial dalam konteks kepustakawanan”.

0 komentar:

Posting Komentar